
Saya masih ingat langkah kaki di trotoar yang dipenuhi spanduk, rasa kecewa saat menyaksikan tumpukan dana visual tak berujung pada suara di bilik.
Di Pilbup Jember 2024, batasan dana kampanye hasil mufakat mencapai Rp79,9 miliar. APK membanjiri Segitiga Emas Jember dan banyak pemasangan melanggar aturan soal baliho, spanduk, dan umbul-umbul.
Laporan Sikadeka memperlihatkan penerimaan dan saldo besar untuk beberapa paslon, sementara pengeluaran nyata terlihat dari harga banner, sewa billboard, hingga tarif EO dan artis.
Data LHKPN juga menunjukkan kekayaan pribadi yang besar, tapi uang dan miliar tidak selalu berujung kemenangan.
Artikel ini akan membedah jurang antara pengeluaran visual dan hasil suara, menelusuri praktik di balik layar, dan menjelaskan kenapa strategi serta jaringan politik sering lebih menentukan kemenangan kepala daerah.
Gambaran besar: ketika dana kampanye miliar tak menjamin kursi wali kota
Di banyak pilkada, arus uang besar tak selalu berbanding lurus dengan hasil suara di TPS.
Model pencalonan di Indonesia bersifat kandidat-sentris. Setiap calon menanggung logistik, produksi materi, dan operasi lapangan sendiri.
Dinamika: kandidat-sentris, logistik jumbo, persaingan ketat
Di lapangan, pola ini mendorong pengeluaran besar untuk APK, event, dan mobilisasi massa. Persaingan antar kubu menaikkan tekanan belanja karena saling menandingi ruang publik.
Ekspektasi suara vs realitas: popularitas, jaringan, timing
Uang membantu jangkauan, tapi tidak otomatis mengubah pilihan. Masyarakat sering menilai kedekatan sosial, rekam jejak, dan momentum kampanye.
| Faktor | Keunggulan dana | Keunggulan non-dana |
|---|---|---|
| Jangkauan visual | Banner, baliho, event besar | Dialog langsung, relawan lokal |
| Mobilisasi | Transportasi massa, hadiah logistik | Jaringan TPS, tokoh komunitas |
| Konversi suara | Efek sementara saat exposure tinggi | Kepercayaan jangka panjang dan narasi |
calon walikota kalah, biaya kampanye miliaran kalah
Banyak kandidat dengan kantong tebal justru menyisakan lubang strategi saat suara dihitung. Visual besar tidak selalu diikuti kerja lapangan yang matang.
Pola umum: boros di APK, lemah di basis dan narasi
Di lapangan terlihat pengeluaran besar untuk banner dan billboard—cetak banner Rp20–25 ribu per meter, sewa billboard sekitar Rp5 juta per bulan—tapi investasi pada relawan dan dialog lokal minim.
Hasilnya: parade visual tanpa diferensiasi pesan. Eksposur tinggi tetap gagal mengubah preferensi pemilih kritis.
Insight pakar: burn rate dan praktik tanpa riset pemilih
Pakar menyebut fenomena ini sebagai burn rate. Dana cepat habis di aset pasif sehingga kebutuhan hari-H, seperti logistik saksi, tidak terbiayai.
Di sisi lain, pelaporan Sikadeka yang rendah menimbulkan tanda tanya soal akuntabilitas. Tanpa riset pemilih, kampanye berubah jadi atraksi, bukan solusi untuk masalah daerah.
- Pengeluaran masif di APK tanpa aktivasi komunitas melemahkan jaringan lokal.
- Narasi generik gagal konversi; mobilisasi praktis sering tertinggal saat puncak pemilihan.
- Ketidaksinkronan momentum memperbesar risiko biaya besar tanpa efek nyata.
| Fokus | Pengeluaran | Hasil |
|---|---|---|
| Media luar ruang | Tinggi (banner, billboard) | Jangkauan visual, sedikit konversi |
| Aktivasi relawan | Rendah | Mobilisasi lemah di TPS |
| Riset isu | Minimal | Narasi tidak relevan |
Anatomi biaya: dari APK, massa, hingga EO—mengapa kampanye butuh miliar
Rangkaian pos pengeluaran—APK, sewa titik, dan hiburan—menjelaskan mengapa anggaran bisa tembus miliar. Setiap pos punya fungsi berbeda, namun semua menyerap porsi signifikan dari dana operasional.
APK dan ruang kota
Pemasangan banner, baliho, dan billboard mendominasi tampilan publik. Harga cetak terlihat murah per meter, tetapi skala ribuan unit membuat total melonjak. Banyak pemasangan di Segitiga Emas melanggar Perbup 14/2013 dan bertentangan dengan PKPU 13/2024.
Harga pasar dan dampak pengeluaran
Di pasar lokal, cetak banner Rp20–25 ribu per meter. Sewa billboard rata-rata ~Rp5 juta per bulan, sedangkan ballroom hotel berbintang di Jember sekitar Rp20 juta per pertemuan.
- Paket EO dengan bintang tamu lokal: Rp100–150 juta.
- Artis atau band nasional: mulai Rp200 juta ke atas.
- Sewa titik luar ruang mengunci dana untuk visibilitas yang belum tentu konversi suara.
| Pos | Kisaran harga | Catatan efektivitas & regulasi |
|---|---|---|
| Cetak APK (banner/stiker) | Rp20–25 ribu/m | Murah per unit, total melejit jika skala besar |
| Sewa billboard | ~Rp5 juta/bln | Visibilitas tinggi, biaya bulanan yang mengikat |
| Sewa ruang/event & EO | Rp20 juta–200 juta+ | Menarik perhatian, mahal; berisiko menyedot dana strategis |
Struktur ini menunjukkan kenapa alokasi yang kurang cermat mendorong eskalasi hingga miliar. Evaluasi setiap pos harus berdasar dampak persuasi, bukan sekadar tampilan. Dengan pengaturan ulang alokasi, sebagian dana dapat dialihkan ke program isu yang lebih menyentuh warga kota dan daerah, serta memperkuat jaringan lokal dalam praktik politik.
Studi kasus Jember: pemasangan APK serampangan dan dugaan manipulasi laporan
Di banyak ruas jalan utama Jember, APK bergambar nomor 01 dan 02 menutupi tiang, pohon, dan sudut fasilitas umum. Kondisi ini jelas bertentangan dengan Perbup 14/2013 yang mengatur larangan pemasangan di Segitiga Emas, pohon, serta dekat sekolah dan rumah sakit.
Segitiga Emas dan pelanggaran ruang publik
Segitiga Emas—Jl Sultan Agung, Jl Ahmad Yani, dan Jl Trunojoyo—menjadi titik konsentrasi APK yang berlebihan. Penempelan pada tiang listrik dan pohon mengganggu estetika kota dan keselamatan publik.
Batasan KPU versus praktik lapangan
PKPU 13/2024 membatasi jumlah billboard, baliho, spanduk, dan umbul-umbul per wilayah. Namun realitas di lapangan menunjukkan angka visual jauh melebihi kuota resmi.
Peran pengawasan dan penertiban
Bawaslu menegaskan penertiban adalah kewenangan pemerintah daerah melalui Satpol PP, sementara LO paslon melaporkan penggunaan dana dan bukti transaksi ke aplikasi KPU.
- Eksposur APK tinggi di kota kontra angka laporan Sikadeka yang tampak rendah.
- LO mengaku penyerahan bukti sering dikelola oleh tim lapangan.
- Pemerintah daerah perlu menegakkan peraturan agar etika pilkada terjaga.
| Isu | Aturan | Praktik di Jember |
|---|---|---|
| Lokasi pemasangan | Perbup 14/2013 | Tiang, pohon, dekat fasilitas |
| Kuota APK | PKPU 13/2024 | Banjir visual melebihi batas |
| Penertiban | Pemerintah daerah / Satpol PP | Koordinasi dengan Bawaslu diperlukan |
Kasus Jember memperlihatkan bagaimana volume visual yang besar bisa mengaburkan akuntabilitas dana dan menguji kapasitas penegakan aturan di daerah.
Audit dan pelaporan dana kampanye: SIKADEKA, LHKPN, dan celah ketidakpatuhan
Transparansi laporan keuangan menunjukkan jurang antara angka resmi dan tontonan lapangan.
Data Sikadeka memperlihatkan inkonsistensi. Paslon 1 melaporkan LADK Rp300.000, LPSDK Rp5.319.750.000, penerimaan Rp5.719.750.000, pengeluaran tercatat Rp102.940.000, dan saldo besar Rp5.616.810.000 dengan 23 kali entri.
LADK, LPSDK, LPPDK: angka yang tak sejalan
| Item | Paslon 1 | Paslon 2 |
|---|---|---|
| LADK | Rp300.000 | Rp0 |
| LPSDK | Rp5.319.750.000 | Rp1.000.000.000 |
| Penerimaan | Rp5.719.750.000 | Rp1.000.000.000 |
| Pengeluaran tercatat | Rp102.940.000 | Rp494.000.000 |
| Saldo | Rp5.616.810.000 | Rp506.000.000 |
KAP, akses data, dan ruang tanggapan publik
KAP berperan mengaudit kepatuhan, namun KPU menyebut detail audit berada pada domain akuntan publik. Hal ini mengecilkan ruang publik untuk menguji kebenaran angka.
- Ringkasan yang tersedia sering tidak selaras dengan pengeluaran nyata di lapangan.
- Akses ke sumber detail audit terbatas, sehingga respon masyarakat lambat.
- Peran parpol dan partai perlu menghadirkan budaya kepatuhan, bukan sekadar administrasi.
Regulasi bergeser: dari ancaman diskualifikasi ke sanksi kabur
Perubahan sanksi membuat potensi manipulasi tetap besar. Tanpa konsistensi penegakan, proses pelaporan kehilangan efek jera.
Sinergi KPU, Bawaslu, dan pemerintah daerah harus diperkuat: sosialisasi aturan, pengawasan lapangan, dan tindak lanjut yang transparan. Hanya dengan akses data yang jelas, publik dapat menilai kebenaran laporan dan menekan praktik yang merusak integritas politik daerah.
Politik uang melampaui amplop: bansos, beasiswa, dan konversi kekuasaan

Praktik distribusi bantuan sering berubah wujud — dari karung beras hingga program beasiswa yang terselubung tujuan elektoral.
Secara hukum, banyak bentuk itu legal jika berasal dari anggaran publik. Namun secara sosial, waktu dan cara pemberian bisa mengubah bantuan menjadi alat untuk mengamankan suara.
Perspektif sosiologi vs hukum: janji, jaringan, dan bantuan non-tunai
Akademisi FISIP Unej menilai bansos dan beasiswa dapat berfungsi sebagai konversi kekuasaan bila dihubungkan dengan janji politik.
Persidangan MK mengungkap modus seperti karung beras berisi amplop dan pemberian peralatan sekolah. KPK juga menyoroti bahwa keterbatasan informasi membuat masyarakat rentan pada iming-iming materi.
Normalisasi “hadiah”: dari serangan fajar hingga tim relawan masif
Data lapangan menunjukkan tim relawan ratusan ribu orang menerima insentif kecil per orang.
Insentif ini memudahkan praktik politik uang yang bukan sekadar amplop, melainkan jaringan balas jasa jangka panjang.
- Bantuan sosial yang diarahkan saat pilkada punya efek elektoral kuat.
- Mobilisasi tim dengan imbalan mengubah relawan jadi alat distribusi materi.
- Praktik ini meningkatkan risiko korupsi pasca-kemenangan karena pencairan “balik modal”.
| Jenis | Contoh | Dampak |
|---|---|---|
| Bantuan sosial | Beras, sembako, beasiswa | Konversi dukungan |
| Insentif tim | Uang tunai Rp20.000–Rp200.000 | Normalisasi hadiah |
| Program publik | Pembangunan fasilitas | Relasi patron-klien |
Solusi butuh pengawasan ketat, pendidikan politik, dan desain bantuan yang transparan agar program sosial tidak berubah menjadi alat politik dan memperparah korupsi.
Mahar partai dan “jual-beli” rekomendasi: biaya pencalonan sebelum kampanye
Di balik pintu tertutup partai, tiket pencalonan sering diperjualbelikan dengan harga tinggi.
Testimoni dari elite politik membuka tabir ini. Djasri Marin dan Slamet Kirbiantoro pernah mengakui setoran ke parpol hingga miliar, lengkap dengan bukti transfer dan tanda terima.
Gamawan Fauzi menyebut angka sekitar Rp3,5 miliar pada 2005, sementara beberapa sumber menyatakan ada persiapan hingga puluhan miliar.
Investor politik dan kontrak pasca-jabatan
Model sponsor sering melibatkan investor yang menuntut proyek setelah pemenang menjabat.
- Skema ini mengikat hubungan kandidat kepala dengan penyandang dana.
- Hadi Supeno menolak sponsor yang minta imbalan proyek sebagai contoh etika.
- Teten Masduki menyoroti potensi penggunaan dana publik yang memicu korupsi, kolusi, dan nepotisme.
| Aspek | Akibat | Upaya mitigasi |
|---|---|---|
| Transaksi pra-pencalonan | Normalisasi mahar | Audit internal partai |
| Investor politik | Janji proyek pasca-jabatan | Aturan transparansi sumber |
| Penggunaan dana publik | Potensi korupsi | Pengawasan KPK/Bawaslu |
Reformasi pendanaan dan keterbukaan sumber wajib dilakukan agar proses pencalonan kepala daerah tidak dikuasai logika uang.
Beban psikis dan konsekuensi sosial: ketika kalah berarti menanggung utang

Kekalahan politik tidak jarang meninggalkan warisan utang dan luka emosional pada rumah tangga. Tekanan ini bukan sekadar soal kehilangan jabatan, melainkan runtutan masalah ekonomi dan sosial yang panjang.
Kisah tragis dan tekanan keluarga
Ada contoh nyata yang menggambarkan sisi gelap proses elektoral. Sutoto Agus Pratomo, suami salah satu pendukung yang berharap menang di Semarang 2010, ditemukan tewas dan diduga terkait beban finansial setelah istrinya gagal.
Kasus Memet Rochamad di Bekasi juga menunjukkan beban psikis; kematian yang dilaporkan pada 2010 menimbulkan spekulasi tentang depresi akibat kekalahan dan penyakit.
Yuli Nursanto di Ponorogo mengalami gangguan perilaku dan kemudian berurusan hukum terkait dugaan penipuan Rp2,9 miliar. Kasus ini memperlihatkan bagaimana pengeluaran besar untuk tujuan politik dapat berujung pada runtuhnya reputasi dan finansial.
- Keluarga merasakan dampak langsung: istri nya dan anak bisa kehilangan penghasilan atau rumah.
- Masyarakat kerap menilai negatif, menambah stigma pada keluarga yang tersisa.
- Proses pemulihan melibatkan negosiasi utang, rehabilitasi usaha, dan penyembuhan relasi.
| Aspek | Konsekuensi | Contoh |
|---|---|---|
| Utang pribadi | Jaminan aset rumah; tekanan rentenir | Pinjaman untuk dana kampanye |
| Kesehatan mental | Depresi, gangguan perilaku | Memet Rochamad, Yuli Nursanto |
| Efek sosial | Stigma di kota dan komunitas | Isolasi keluarga |
Solusi jangka panjang melibatkan edukasi finansial politik, batas pengeluaran yang efektif, dan akses layanan psikologis serta mentoring bagi mereka yang terlibat pemilihan kepala daerah. Tanpa perlindungan ini, risiko tragedi karena uang dan tekanan sosial akan terus berulang.
Paradoks petahana tersangka korupsi bisa menang, kandidat “bersih” berguguran
Kasus di beberapa daerah menunjukkan bahwa status hukum tidak selalu memupus daya tarik politis seorang pejabat. Fenomena ini menimbulkan tanda tanya tentang bagaimana informasi, jaringan, dan anggaran publik berpengaruh pada pilihan warga.
Ketidakseimbangan informasi dan ketokohan lokal
Informasi soal proses hukum sering tidak sampai utuh ke pemilih. KPK mencatat publik kerap mendapat potongan berita, bukan konteks lengkap.
Nama besar dan jaringan patronase membuat beberapa bupati dan wali kota tetap dipercaya. Contoh Yusak Yaluwo dan Jefferson Rumajar memperlihatkan bagaimana ketokohan lokal bisa menutupi tuduhan korupsi di mata sebagian pemilih.
APBD, hibah, dan bantuan sosial sebagai alat elektoral
Menjelang pilkada, aliran hibah dan bantuan sosial rentan dipersepsi sebagai upaya konsolidasi suara. Dugaan penggunaan pos APBD untuk mendekatkan figur pada warga sering muncul dalam laporan audit dan investigasi.
Risiko sederhana: ketika petahana yang bermasalah menang, tata kelola publik berpotensi terganggu dan siklus korupsi berulang.
| Aspek | Fakta | Dampak |
|---|---|---|
| Informasi hukum | Terfragmentasi | Keputusan emosional pemilih |
| Jaringan lokal | Kuat | Menutup isu korupsi |
| Anggaran publik | Hibah/bansos | Alat pengaruh elektoral |
- Masyarakat butuh akses data yang jelas agar menilai risiko tata kelola.
- Pemerintah, media, dan LSM wajib memperlihatkan transparansi penyaluran hibah.
- Kandidat bersih harus membangun jaringan dan narasi yang kuat untuk menandingi patronase.
Kontras “miskin melawan arus”: caleg bermodal minim dan strategi kreatif
Di gang-gang permukiman, suara dan cerita sehari-hari sering jadi alat kampanye yang lebih ampuh daripada billboard megah.
Beberapa orang dari DKI Jakarta hingga Solo memilih cara sederhana. Mereka memakai rumah kontrakan, gerobak, atau angkot sebagai medium pesan.
PRT, sopir angkot, tukang mie ayam, penjual sabun: praktik kampanye berbasis komunitas
Yuni Sri Rahayu, PRT di DKI Jakarta, memakai sekitar Rp1,5 juta dari upah membersihkannya untuk stiker dan pertemuan tetangga.
Lestareno, sopir angkot di Purwakarta, menghabiskan Rp6 juta dan bahkan meminjam modal dagangan ibunya demi jangkauan lebih luas.
Juli Basaroni dari Karawang dan Slamet Widodo di Solo fokus pada efisiensi: stiker di gerobak, sisihkan Rp10.000/hari, dan pembagian barang kecil berstiker.
Efisiensi APK dan modal sosial
- Penggunaan materi ulang: stiker kecil, kalender, dan alat promosi yang dipakai sehari-hari.
- Kolaborasi lintas tingkatan membantu menekan biaya cetak per orang.
- Tim kecil sukarela—tetangga dan teman kerja—menjadi tulang punggung distribusi pesan.
Walau peluang menang kecil, proses ini membangun modal sosial. Orang di lingkungan menjadi anggota jaringan yang saling percaya.
Pendekatan ini juga mengubah persepsi bahwa politik harus selalu membutuhkan dana besar. Untuk pembaca yang ingin tahu soal praktik politik dan dampaknya, kisah-kisah mikro ini memberi perspektif lain.
Kesimpulan
Fenomena visual megah di ruang publik kerap menutupi kelemahan strategi yang menentukan hasil pemilihan. Data lapangan menunjukkan cetak banner, sewa billboard, dan event besar menyerap dana besar tanpa jaminan suara.
Praktik politik yang fokus pada tampilan sering mengorbankan kerja basis dan narasi program. Politik uang kini berkembang lewat bantuan dan relawan berinsentif, lalu menimbulkan risiko korupsi setelah masa jabatan.
Untuk memperbaiki kondisi, publik perlu akses laporan yang transparan, pengawasan ketat, dan pendidikan pemilih. Dengan peraturan lebih tegas, partai menekan mahar, dan masyarakat aktif mengawasi, kepala daerah terpilih dapat fokus pada kerja publik bukan menutup utang politik.



