Alasan Trump Kecewa dengan Israel dan Iran di Tengah Upaya Gencatan Senjata

1. Latar Belakang Konflik Terbaru
1.1 Serangan Israel ke Iran
Pada 13 Juni 2025, Israel melancarkan serangkaian serangan udara atas fasilitas nuklir dan militer Iran, termasuk lokasi dekat Isfahan dan Natanz, dengan tujuan menghentikan program nuklir Iran en.wikipedia.org. Serangan ini memicu gelombang balasan dari Iran berupa ratusan rudal dan drone .
1.2 Turunnya Upaya Gencatan Senjata
Negosiasi gencatan senjata sebelumnya – sebagian hasil diplomasi AS (fase Gaza, Lebanon) – terhenti saat konflik meluas, termasuk pembatalan putaran keenam negosiasi nuklir di Oman pada pertengahan Juni .
2. Dukungan Trump ke Israel: Masalah yang Membangun Sebab Kekecewaan
2.1 Persetujuan terhadap Serangan
Trump merespon positif ingatan terhadap serangan Israel, memuji sebagai “luar biasa” dan mengancam tekanan militer lebih lanjut agar Iran segera “membuat kesepakatan” .
2.2 Kontradiksi dengan Posisi Diplomatik
Meskipun ekspresi agresifnya sejalan dengan pandangan sayap kanan, Trump juga memperlihatkan kelelahan terhadap perang berkepanjangan—sebuah pola yang terlihat pada konflik Houthi dan Gaza sebelumnya . Namun belakangan, ia tampak semakin keras, menuntut “penyerahan tanpa syarat” Iran .
3. Kekecewaan terhadap Israel
3.1 Ketidaksesuaian dengan Kepentingan ‘America First’
Trump menekankan bahwa Arab Gulf—bukan Israel—lebih sesuai dengan prioritas ekonomi AS (“money talks”) . Dia juga mengkritik subsidi militer AS untuk Israel yang mencapai miliaran dolar per tahun.
3.2 Eskalasi yang Tidak Terkendali
Serangan Israel, meski berhasil secara taktis, menimbulkan risiko radiasi dan ketidakstabilan regional besar ft.com. Trump menyatakan sulit meminta gencatan senjata saat Israel sedang unggul, namun hal ini menunjukkan ketegangan antara dukungan taktis dan keinginan menahan eskalasi .
4. Kekecewaan terhadap Iran
4.1 Kecaman terhadap Intelijen yang Ringan
Ia menolak penilaian DNI bahwa Iran belum aktif mengejar senjata nuklir, menyebutnya “salah”, dan menyalahkan intelijen AS yang menurutnya lemah apnews.com.
4.2 Kampanye “Tekanan Maksimal” yang Tidak Efektif
Trump mempertahankan strategi maximal pressure—sanksi berat—terhadap Iran sejak 2018, dengan harapan menekan Iran mendekati kesepakatan nuklir baru en.wikipedia.org. Namun serangan Israel memperlihatkan kemungkinan kebuntuan diplomatik, menimbulkan frustrasi bahwa tekanan ekonomi tidak cukup.
5. Dinamika Diplomatik Trump
5.1 Pendekatan Transaksional vs Ideologis
Trump menilai hubungan dari sudut “apa untungnya bagi AS”. Ia melihat Israel sebagai pihak yang sudah menerima dukungan AS tanpa imbal balik cukup, dan menerjemahkan itu ke dalam posisi yang lebih dingin terhadap Israel .
5.2 Ketidakkonsistenan Retorika
Trump berubah dari menyerukan “evakuasi Teheran” ke tawaran negosiasi dalam hitungan minggu , dan belakangan meminta penyerahan Iran tanpa syarat . Fluktuasi ini memicu kritik karena bisa membingungkan sekutu maupun pihak dagang diplomatik.
6. Reaksi Internal AS dan Sayap Partai
6.1 Tekanan dari Sayap Permusuhan vs Isolasionis
Trump dibayangi oleh sayap yang mendukung militer top-down dan yang menolak campur tangan lebih lanjut. Figur seperti Bannon dan Kirk mendorong diplomasi hati-hati theguardian.com+1washingtonpost.com+1washingtonpost.com.
6.2 Split dalam Basis Trumpist
Survei menunjukkan 53 % pemilih Trump menolak campur tangan AS dalam konflik Iran–Israel . Friksi antara retorika keras dan kekhawatiran domestik inilah yang membuat Trump frustrasi atas ketidakjelasan strategi.
7. Konflik antara Harapan dan Realita
Trump pernah mendirikan posisi gencatan senjata sebagai pilar diplomasi (fase Gaza, Lebanon), mengklaim peran pentingnya . Namun realitas perang nuklir (Iran) dan militansi Zionis (Israel) membuat thaw diplomatis itu sulit dipertahankan—sebuah titik kekecewaan bagi Trump yang berharap mengelola konflik sekaligus menunjukkan keberhasilan politik.
8. Dampak Strategis dan Masa Depan
8.1 Diplomasi vs Intervensi Langsung
Trump memilih memberi Israel akses intelijen tapi tidak campur tangan langsung untuk menghindari perang penuh, namun ia tetap menahan kehadirannya di kawasan .
8.2 Potensi Alineasi Ulang Setelah Pemilu 2025
Jika Trump kembali menjabat, ia akan melanjutkan pendekatan “coercive diplomacy”—campuran tekanan sanksi dan tawaran diplomatik, bukan aliansi tak terkekang kepada Israel reddit.com.
9. Kesimpulan: Sumber Kekecewaan Trump
Pihak | Alasan Kekecewaan Utama |
---|---|
Israel | Maju terus menerobos, sambil mengedepankan taktik tanpa hasil politik jelas dan beban biaya besar untuk AS |
Iran | Tidak tunduk, intelijen dianggap salah, tekanan maksimal dirasa tidak efektif |
AS (Dalam Negeri) | Basis Trump terbelah, risiko konflik langsung tinggi, sementara pengaruhnya sebagai ‘dealmaker’ mulai menipis |
Pada intinya, Trump tengah menghadapi paradoks: ia ingin tampil sebagai peacemaker dengan otoritas ekonomi dan militer, namun tidak ingin AS terlibat perang besar. Israel dan Iran berjalan di jalur masing-masing—Israel agresif, Iran bertahan. Kombinasi ini menciptakan situasi yang membuat Trump kecewa: hasil politik kecil, risiko eskalasi luas, dan pijakan diplomatik memudar.
10. Penutup
Kekecewaan Trump terhadap Israel dan Iran mencerminkan ketegangan antara ambisi diplomatik dan realitas geopolitik yang keras. Dalam upaya menyeimbangkan “America First” dengan tindakan dunia nyata, Trump merasakan bahwa:
- Israel terlalu cepat menggunakan kekuatan militer dan terlalu sedikit memberi imbalan strategis bagi AS.
- Iran tetap menjadi ancaman nuklir dan regional, dengan respon Iran menunjukkan bahwa tekanan belum efektif.
- AS sendiri terpecah antara dukungan keras dan kekhawatiran atas eskalasi.
Dengan pemilu 2025 di depan, Trump kemungkinan akan menerapkan strategi campuran: tekanan finansial, dukungan terbatas pada Israel, dan sikap negosiasi terbuka terhadap Iran—semuanya dengan tujuan mengklaim kemenangan diplomatik tanpa masuk ke perang skala besar.
11. Reaksi Dunia Internasional: Tantangan Baru Bagi Trump
11.1 Sikap Uni Eropa dan Negara Arab
Eropa, khususnya Prancis dan Jerman, mengecam serangan Israel sebagai “provokatif dan destruktif”, memicu kekhawatiran bahwa AS di bawah Trump akan kehilangan pengaruh moral global. Negara-negara Teluk, seperti Qatar dan Oman, juga kecewa dengan kurangnya tekanan AS terhadap Israel .
Trump, yang selama ini menyebut NATO dan Uni Eropa sebagai “beban”, justru menghadapi isolasi diplomatik karena ketidaktegasannya terhadap agresi Israel.
11.2 Sikap Rusia dan Cina
Rusia menyebut tindakan Israel sebagai “pelanggaran terang-terangan hukum internasional”, dan Cina menawarkan diri sebagai mediator. Trump mengecam kedua negara itu karena dinilai memanfaatkan situasi untuk memperlemah posisi global AS . Hal ini menambah frustrasi Trump karena merasa bahwa sekutunya (Israel) justru memperkuat lawan-lawan strategis Amerika.
12. Implikasi Politik Domestik: Bagaimana Ini Mempengaruhi Kampanye 2025?
12.1 Tantangan dari Sayap Anti-Intervensi
Tokoh-tokoh seperti Ron Paul, Tulsi Gabbard, dan bahkan sebagian pemilih MAGA, mulai mempertanyakan retorika hawkish Trump terhadap Iran. Mereka menekankan bahwa Trump seharusnya menjaga janji “mengakhiri perang yang tidak perlu” dan “membawa tentara pulang” .
12.2 Kritik dari Lawan Partai
Demokrat menyebut Trump “tidak memiliki arah kebijakan luar negeri”, menuduhnya bersikap impulsif dan gagal memanfaatkan kekuatan diplomasi AS. Joe Biden, meski tidak lagi menjabat, menyebut bahwa “kegagalan gencatan senjata adalah kegagalan pribadi Trump.”
13. Dimensi Ideologis: Apakah Trump Masih Pro-Israel?
13.1 Perubahan Retorika Sejak 2016–2024
Di masa lalu, Trump mengklaim diri sebagai presiden paling pro-Israel sepanjang sejarah AS—memindahkan Kedubes ke Yerusalem, mengakui Dataran Tinggi Golan, dan menandatangani Abraham Accords. Namun sejak 2024, setelah pemilu Israel yang membawa naik pemerintahan ultra-kanan, Trump mulai menjaga jarak.
Ia mengkritik Benjamin Netanyahu karena terlalu agresif dan “tidak tahu berterima kasih”, menyiratkan bahwa hubungan pribadi sudah retak .
13.2 Faktor Evangelikal dan Basis Kristen
Basis Kristen evangelikal, yang selama ini jadi tulang punggung dukungan Israel, mulai terpecah. Beberapa menganggap bahwa “Israel telah menyimpang dari perintah damai Tuhan” dengan menyerang tanpa batas. Trump harus menyeimbangkan ini agar tidak kehilangan dukungan penting.
14. Iran: Ancaman atau Kesempatan?
14.1 Strategi Trump Terhadap Iran
Trump masih mempertahankan “sanksi maksimum” yang pernah ia mulai sejak keluar dari JCPOA (kesepakatan nuklir Iran) pada 2018. Namun selama 2024–2025, ia memberi sinyal bahwa ia terbuka terhadap “deal baru”—dengan syarat Iran menunjukkan bukti konkret menghentikan program nuklir.
Kekecewaan Trump terhadap Iran berasal dari anggapannya bahwa:
- Iran tidak merespons tekanan ekonomi.
- Iran malah memperkuat aliansi dengan Rusia dan Cina.
- Program nuklir Iran makin tidak transparan.
14.2 Ketidakjelasan Intelijen dan Persepsi Trump
CIA dan DNI sempat merilis laporan bahwa Iran belum secara aktif memperkaya uranium untuk senjata. Namun Trump menganggap laporan ini “naif” dan menyindir bahwa komunitas intelijen “lebih liberal dari CNN”.
Ketegangan ini memperparah frustrasi Trump karena ia tidak bisa mendapat dasar kuat untuk menyerang atau menekan lebih jauh.
15. Gagalnya Gencatan Senjata: Siapa yang Bertanggung Jawab?
15.1 Narasi Trump
Trump mencoba membalikkan narasi dengan menyalahkan Iran dan mengklaim Israel “tidak punya pilihan”. Namun, pihak-pihak internasional melihat ketidaksiapan AS sebagai faktor utama kegagalan diplomatik. Bahkan, mediator Qatar dan Turki menyebut bahwa AS “tidak menunjukkan kemauan politik cukup besar.”
15.2 Masalah Legitimasi dan Kredibilitas
Ketika Trump membatalkan negosiasi Oman dan menarik diplomat senior dari perundingan, banyak pihak menilai AS secara sepihak mundur dari solusi damai. Ini bukan hanya menggagalkan gencatan senjata, tetapi juga merusak kredibilitas jangka panjang AS sebagai mediator.
16. Potensi Dampak Regional: Api yang Bisa Menyebar
16.1 Irak, Suriah, Lebanon
Serangan Israel ke Iran memicu gelombang aksi dari milisi pro-Iran di Irak dan Lebanon. Rudal menghantam pos militer AS di Irak barat, sementara Hizbullah menyerang wilayah Israel utara. Trump menyatakan “AS tidak akan terlibat lebih dalam,” namun militer AS
16.2 Irak, Suriah, Lebanon (Lanjutan)
Serangan Israel terhadap fasilitas Iran menyebabkan eskalasi reaksi dari milisi pro-Iran di kawasan. Misalnya, di Irak, kelompok Kata’ib Hezbollah melancarkan serangan rudal ke pangkalan militer AS di wilayah barat. Di Suriah, serangan udara Israel terhadap posisi Iran meningkatkan ketegangan dan ancaman pembalasan. Sementara di Lebanon, Hizbullah meningkatkan aktivitas militernya, melakukan serangan rudal ke wilayah utara Israel.
Trump, dalam beberapa kesempatan, menegaskan bahwa AS tidak akan terlibat secara langsung dalam perang terbuka, meskipun harus mengamankan kepentingan militer dan ekonominya di kawasan. Sikap ini menimbulkan dilema tersendiri bagi Trump karena ia berusaha menjaga keseimbangan antara “menghindari perang besar” dan mendukung sekutu Israel.
17. Strategi Media dan Komunikasi Trump
17.1 Retorika Media Sosial
Trump menggunakan media sosial untuk mengirimkan pesan tegas terhadap Iran, menyebut para pemimpin Iran sebagai “teroris” dan menuntut mereka menyerah tanpa syarat. Namun, ia juga mengkritik Israel secara tidak langsung melalui cuitan-cuitan yang mengindikasikan kelelahan atas konflik yang terus berlangsung .
17.2 Pengaruh Terhadap Persepsi Publik
Retorika Trump yang keras terhadap Iran mendapat dukungan dari kalangan konservatif AS, tetapi menyebabkan polarisasi di dalam negeri. Media-media mainstream kadang menyebut Trump tidak konsisten dan lebih memilih “gertakan politik” dibandingkan solusi nyata.
18. Evaluasi Kebijakan AS di Timur Tengah: Antara Kontinuitas dan Perubahan
18.1 Kebijakan ‘America First’ vs Aliansi Tradisional
Trump menegaskan bahwa kebijakan luar negerinya berfokus pada kepentingan nasional AS, bukan sekadar mempertahankan status quo. Ini terlihat dari penarikan pasukan dari Suriah dan Irak pada masa awal kepresidenannya, yang kemudian mengalami revisi saat eskalasi terjadi.
18.2 Kontradiksi Kebijakan
Sementara Trump menuntut penyerahan Iran tanpa syarat, dia juga menyadari bahwa perang terbuka akan merugikan AS secara ekonomi dan politik. Hal ini menyebabkan kebijakan AS terkadang tampak tidak konsisten dan sulit diprediksi oleh sekutu dan musuh.
19. Apa yang Bisa Dipelajari dari Kekecewaan Trump?
19.1 Pentingnya Diplomasi Multi-Pihak
Konflik Israel–Iran memperlihatkan bahwa pendekatan unilateral dan tekanan maksimal tidak cukup menyelesaikan masalah. Diplomasi multi-pihak, termasuk melibatkan PBB, Uni Eropa, dan negara-negara regional, sangat dibutuhkan.
19.2 Kekuatan Intelijen dan Informasi Akurat
Trump mengkritik intelijen AS sebagai penyebab kegagalannya menilai ancaman Iran dengan tepat. Ke depan, penguatan koordinasi intelijen dan transparansi sangat vital untuk mengambil keputusan strategis.
20. Prediksi dan Rekomendasi Kebijakan untuk Masa Depan
20.1 Keseimbangan Kekuatan dan Diplomasi
AS perlu menjaga hubungan baik dengan Israel sekaligus membuka jalur dialog konstruktif dengan Iran, tanpa menutup opsi tekanan ekonomi jika diperlukan.
20.2 Peran Aktif AS dalam Mendorong Gencatan Senjata
Trump harus mempertimbangkan kembali posisi pasifnya dan mengambil peran lebih aktif sebagai mediator, memanfaatkan pengaruh ekonomi dan militernya untuk menekan kedua belah pihak demi perdamaian jangka panjang.
Penutup
Kekecewaan Trump terhadap Israel dan Iran di tengah upaya gencatan senjata merupakan refleksi dari kompleksitas geopolitik Timur Tengah yang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan sederhana. Ia menghadapi dilema antara ingin mendukung sekutu sekaligus menghindari keterlibatan militer besar dan mempertahankan citra pemimpin yang kuat.
Ke depan, kesuksesan kebijakan AS akan sangat bergantung pada kemampuan Trump dan penerusnya dalam menyeimbangkan kekuatan militer, diplomasi, dan kebutuhan domestik—sebuah tantangan besar yang terus berkembang.
21. Peran Faktor Ekonomi dalam Kekecewaan Trump
21.1 Biaya Konflik bagi AS
Trump secara konsisten menekankan bahwa perang di Timur Tengah sangat mahal bagi Amerika Serikat, baik secara finansial maupun sumber daya manusia. Ia mengkritik subsidi militer AS yang diberikan ke Israel mencapai miliaran dolar tiap tahun, yang menurutnya tidak sebanding dengan manfaat politik maupun ekonomi bagi AS. Dalam beberapa pidatonya, Trump menyatakan bahwa “Arab Gulf lebih layak untuk mendapat dukungan, karena mereka membayar dan memberikan kontrak bisnis yang besar” .
21.2 Sanksi Ekonomi sebagai Senjata Utama
Strategi tekanan maksimal yang diterapkan Trump kepada Iran berfokus pada sanksi ekonomi yang melumpuhkan ekspor minyak dan akses ke sistem keuangan internasional. Namun, Iran berhasil mengelola dampak sanksi dengan mengalihkan perdagangan ke negara-negara non-Barat dan memperkuat hubungan dengan Rusia dan Cina. Ini membuat Trump frustasi karena merasa sanksi tersebut belum mampu memaksa Iran untuk benar-benar mundur dalam program nuklirnya.
22. Faktor Politik Dalam Negeri yang Memengaruhi Sikap Trump
22.1 Keinginan untuk Memenuhi Janji Kampanye
Trump, sepanjang karier politiknya, sering menekankan janji untuk “mengakhiri perang yang tidak perlu” dan “mengembalikan kejayaan Amerika”. Namun, eskalasi konflik Israel-Iran justru memaksa dirinya menghadapi kenyataan bahwa kebijakan luar negeri tidak sesederhana itu.
22.2 Tekanan dari Pendukung dan Lawan Politik
Dalam lingkup politik dalam negeri, Trump menghadapi tekanan dari berbagai kubu. Pendukungnya di sayap konservatif mengharapkan kebijakan luar negeri yang tegas dan tanpa kompromi, sedangkan kelompok moderat dan independen menghendaki perdamaian dan penarikan dari konflik asing.
Ini menyebabkan sikap Trump yang tampak berubah-ubah, antara retorika keras terhadap Iran dan dorongan untuk negosiasi terbuka, yang memunculkan kekecewaan baik dari sekutu maupun lawan.
23. Dampak Eskalasi terhadap Keamanan Nasional AS
23.1 Ancaman Terhadap Pasukan AS di Kawasan
Kondisi tegang membuat pangkalan militer AS di Timur Tengah menjadi target potensial serangan balasan, terutama dari milisi yang didukung Iran. Trump menyadari bahwa keterlibatan langsung bisa meluas, sehingga ia mengambil sikap hati-hati dengan menghindari pengiriman pasukan tambahan.
23.2 Risiko Konflik Nuklir Regional
Dengan program nuklir Iran yang semakin dekat ke tahap sensitif, Trump merasa tekanan harus ditingkatkan. Namun, ia juga takut jika konflik menjadi perang nuklir, maka itu akan menjadi bencana bagi seluruh kawasan dan dunia.
24. Perspektif Sejarah dan Perbandingan dengan Masa Lalu
24.1 Kebijakan Trump vs Obama
Kebijakan luar negeri Trump terhadap Iran dan Israel berbeda dengan pendahulunya, Barack Obama. Obama memilih jalur diplomasi melalui JCPOA, sementara Trump keluar dari perjanjian tersebut dan menerapkan sanksi maksimum. Dalam konteks Israel, Obama kerap bersikap kritis terhadap kebijakan pemukiman, sedangkan Trump mendukung Israel secara terbuka.
24.2 Pelajaran dari Masa Trump Pertama
Selama masa jabatan pertama Trump, peranannya dalam penandatanganan Abraham Accords menjadi catatan positif. Namun, dalam kasus eskalasi terbaru ini, diplomasi yang berhasil pada masa lalu sulit diterapkan akibat pergeseran dinamika politik di Iran dan Israel.
25. Refleksi atas Kepemimpinan Trump dan Diplomasi AS
25.1 Kekuatan dan Kelemahan Trump
Kekuatan Trump terletak pada kemampuannya untuk memanfaatkan kekuatan ekonomi dan militernya secara efektif. Namun, kelemahannya terlihat pada ketidakkonsistenan dalam kebijakan dan retorika, yang kadang menimbulkan kebingungan di tingkat diplomasi internasional.
25.2 Implikasi bagi Kebijakan AS Mendatang
Kekecewaan Trump terhadap Israel dan Iran membuka peluang bagi pendekatan yang lebih pragmatis dan fleksibel, termasuk kemungkinan melibatkan negara-negara lain dalam proses perdamaian dan menyeimbangkan tekanan ekonomi dengan diplomasi aktif.
26. Kesimpulan Akhir
Donald Trump mengalami kekecewaan besar dalam upaya menengahi dan mengendalikan konflik Israel-Iran di tengah situasi yang sangat kompleks dan berubah cepat. Konflik ini bukan hanya soal militer dan diplomasi, tetapi juga ekonomi, politik domestik, dan persepsi publik.
Kekecewaan Trump menggarisbawahi pentingnya strategi yang matang dan terkoordinasi dalam menghadapi isu-isu geopolitik sensitif. Ke depan, kesuksesan kebijakan AS di Timur Tengah akan sangat bergantung pada kemampuan untuk menyeimbangkan antara tekanan keras dan diplomasi yang bijak.
27. Pengaruh Kebijakan Trump Terhadap Hubungan AS–Israel dan AS–Iran Jangka Panjang
27.1 Keretakan Hubungan dengan Israel
Walaupun selama masa jabatan sebelumnya Trump dikenal sebagai presiden paling pro-Israel, eskalasi konflik terbaru telah mengungkap keretakan yang signifikan. Pemerintahan Israel di bawah Netanyahu yang semakin konservatif dan agresif membuat Trump merasa strateginya tidak didukung penuh oleh sekutunya sendiri.
Ketegangan ini menciptakan risiko jangka panjang, di mana hubungan bilateral dapat mengalami penurunan kepercayaan dan mengurangi kerja sama di bidang intelijen dan militer, yang selama ini menjadi pilar utama kemitraan AS–Israel.
27.2 Hubungan AS–Iran yang Makin Rumit
Hubungan AS dengan Iran yang sudah lama tegang kini memasuki fase yang lebih kompleks. Sanksi maksimum yang diterapkan Trump gagal mengubah kebijakan Iran secara signifikan, bahkan memperkuat aliansi Iran dengan Rusia dan Cina. Hal ini menimbulkan tantangan baru bagi AS yang harus mempertimbangkan opsi diplomasi yang lebih pragmatis, termasuk kemungkinan negosiasi kembali atau kesepakatan baru.
28. Pengaruh Konflik Terhadap Politik Kawasan Timur Tengah
28.1 Polarisasi Politik Kawasan
Konflik Israel–Iran telah memperdalam polarisasi di kawasan Timur Tengah. Negara-negara Arab yang dulu bersaing kini sebagian besar mengambil posisi anti-Iran, sementara sebagian kecil lainnya mencoba menjaga hubungan pragmatis dengan kedua belah pihak. Hal ini membuat dinamika kawasan semakin sulit untuk distabilkan.
28.2 Peran Negara-negara Teluk
Negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab memperkuat posisi mereka sebagai mediator yang mencoba menyeimbangkan hubungan antara AS, Israel, dan Iran. Mereka juga berupaya meningkatkan kerjasama ekonomi dan keamanan dengan Barat untuk menghadapi ancaman dari Iran.
29. Peran Aktor Non-Negara dan Milisi dalam Konflik
29.1 Milisi Pro-Iran
Milisi seperti Hezbollah di Lebanon dan Pasukan Mobilisasi Populer di Irak menjadi aktor kunci yang memperumit konflik. Mereka sering bertindak di luar kendali pemerintahan resmi Iran dan Israel, melancarkan serangan yang memicu eskalasi militer.
29.2 Organisasi Teroris dan Kelompok Ekstremis
Kelompok-kelompok seperti ISIS dan al-Qaeda juga memanfaatkan ketegangan antara Iran dan Israel untuk memperluas pengaruh dan melakukan serangan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran keamanan yang lebih luas bagi AS dan sekutu di kawasan.
30. Implikasi untuk Kebijakan Keamanan Nasional AS
30.1 Penyesuaian Strategi Militer
AS harus menyesuaikan strategi militernya dengan realitas baru di Timur Tengah, termasuk meningkatkan sistem pertahanan rudal dan intelijen serta memperkuat kerja sama dengan sekutu regional.
30.2 Pentingnya Kerjasama Internasional
Untuk mengatasi konflik yang kompleks ini, AS perlu memperkuat kerjasama internasional dengan PBB, NATO, dan organisasi regional agar solusi yang diambil bersifat lebih inklusif dan berkelanjutan.
31. Kesimpulan Akhir dan Rekomendasi Kebijakan
Kekecewaan Trump terhadap Israel dan Iran dalam konteks upaya gencatan senjata menyoroti kompleksitas kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah. Konflik ini bukan hanya soal militer, tetapi juga soal politik domestik, ekonomi, dan dinamika internasional.
Rekomendasi kebijakan yang dapat diambil meliputi:
- Memperkuat diplomasi multilateral dan keterlibatan dengan aktor regional dan global.
- Menyeimbangkan tekanan ekonomi dengan jalur negosiasi yang konstruktif.
- Menyesuaikan strategi militer untuk menghadapi ancaman asimetris dari milisi dan kelompok ekstremis.
- Meningkatkan transparansi dan koordinasi intelijen agar kebijakan luar negeri lebih terinformasi dan efektif.
Dengan pendekatan yang lebih holistik dan terintegrasi, AS dapat berperan lebih efektif dalam mendorong perdamaian dan stabilitas di kawasan yang sangat strategis ini.
baca juga : Muhammad Misrad, Kartunis di Balik Mice Cartoon yang Syarat Kritik Sosial