
Kalender sunda ditemukan kembali pada tahun 1990an setelah menghilang selama 500 tahun. Peradaban Sunda sudah dikenal masyarakat dunia sejak ribuan tahun yang lalu. Pada tahun 150 Masehi, istilah kepulauan Sunda telah dikemukakan oleh Ptolemeus. Kepulauan Sunda terdiri dari kepulauan Sunda Besar dan Sunda Kecil. Kepulauan Sunda besar meliputi pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, sedangkan Sunda kecil meliputi pulau Bali, Nusa Tengara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Sunda berasal dari bahasa jawa kuno yang berarti bersinar, terang, putih.
ASAL ISTILAH SUNDA
Selama ini sebutan “Sunda” lebih dikenal hanya sebagai sebuah kerajaan atau suku (etnis) yang mendiami wilayah Jawa Barat, sesungguhnya itu tidak benar dan sama sekali salah. “Sunda” adalah nama atau sebutan sebuah wilayah yang sangat luas di Planet Bumi. Secara diagonal wilayah itu mencakup dari ujung Timor, sebagian India selatan hingga belahan timur Afrika dan kepulauan Madagaskar.
Nama wilayah Sunda ini masih dapat ditemui dalam istilah geografi internasional, antara lain:
Kepulauan Sunda Besar dan Sunda Kecil
Bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan pada medio 1970 an, istilah Sunda masih ditemukan didalam mata ajar Ilmu Bumi, suatu istilah yang menunjukan gugusan kepulauan yang disebut Sunda Besar (meliputi: Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi), serta Sunda Kecil (meliputi: Pulau Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku).
Paparan Sunda
Papaparan Sunda adalah landas kontinen perpanjangan lempeng benua Eurasia di Asia Tenggara. Massa daratan utama antara lain Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarya. Area ini meliputi kawasan seluas 1,85 juta km2. Kedalaman laut dangkal yang membenam paparan ini jarang sekali melebihi 50 meter, dan kebanyakan hanya sedalam kurang dari 20 meter. Tebing curam bawah laut memisahkan Paparan Sunda dari kepulauan Filipina, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil.
Tanah Sunda (Sundaland) sebuah istilah yang merujuk kepada bentang daratan lempeng benua dan landas kontinen di Asia Tenggara yang merupakan dataran di atas permukaan laut ketika permukaan laut jauh lebih rendah pada zaman es terakhir. Tanah Sunda termasuk Semenanjung Malaya, Kepulauan Sunda Besar termasuk Kalimantan, Sumatera, dan Jawa, serta laut dangkal di sekitarnya, yaitu Laut Jawa, Selat Malaka, Selat Karimata, Teluk Siam, dan bagian selatan Laut China Selatan.
Sistem Gunung Sunda
Adalah jajaran pegunungan yang melingkari paparan Sunda (CIRCUM-SUNDA MOUNTAIN SYSTEM) yang panjangnya se kitar 7000 km. Paparan Sunda terdiri dari dua bagian utama, yaitu (1) bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian ba rat dan (2) bagian selatan yang terbentang dari barat ke ti mur sejak Lembah Brahmaputera di Assam (India) hingga Maluku bagian selatan. Paparan Sunda itu bersambung dengan kawasan sistem Gunung Himalaya di barat dan dataran Sahul di timur (Bemmelen, 1949: 2-3).
Laut Sunda (Soenda ZEE)
Isitilah Laut Sunda atau Soenda Zee masih dikenal pada zaman pemerintah kolonial Belanda hingga pada era sekitar tahun 1919. Soenda Zee adalah wilayah laut meliputi Laut Jawa, Selat Karimata, dan Laut Cina Selatan yang dikenal saat ini.
Bahasa Sunda Merupakan Induk Bahasa lain
Dalam Penataran Dialetologi Tahap I, Juni-Agustus 1976, Proto Austronesia Etyma cunstituting An Asutronesian Cognate Finder List Dr. Bernd Nothafer, menggambarkan bahwa PROTO-SUNDIC merupakan induk bahasa lain, seperti melayu, madura, bali, dll.
RISET PENEMUAN KEMBALI KALENDER SUNDA
Daftar Isi
Riset yang dilakukan Ali Sastramidjaja atau yang dikenal sebagai Abah Ali selama bertahun-tahun mengungkapkan bahwa Kala Sunda sebenarnya telah ada sejak dulu, dibuat dan dimanfaatkan oleh nenek moyang Tatar Sunda untuk kepentingan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan pergantian musim dan pertanian.
Selain naskah turun temurun dari leluhurnya, riset yang dilakukan abah Ali di dasarkan pada prasasti Citatah di Cibadak Sukabumi atau terkenal dengan Sanghyang Tapak dari abad ke-11 Masehi. yang menuliskan secara lengkap tanggal berdasarkan kalender Sunda. Ini isi prasasti tersebut adalah sbb:
//O// Swasti cakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadaci cuklapaksa. Ha. Ka. Ra. Wara tambir….” Selamat. Dalam tahun Saka 952 Bulan Kartika tanggal 12 bagian terang hari hari yang Kaliwon – Ahad – Wuku Tambir….” Tanggal 12s Kartika 952 C, bertepatan dengan tanggal 7 Juli 1045 M.
Kalender Sunda atau yang lebih dikenal dengan Kala Sunda ini lebih tua dari kala-kala lain yang ada dan berkembang di masyarakat Jawa dan Bali. Keunikan kalender Sunda ini adalah terdiri dari dua jenis kalender, yaitu kalender surya yang disebut Kala Surya Saka Sunda dan kalender candra yang disebut Kala Candra Caka Sunda.
Sistem Kalender Sunda Menunjukkan Tingginya Peradaban
Merujuk pada Ensiklopedi Winkler Prince, tingginya suatu peradaban, diukur dari tingkat akurasi penanggalan kalendernya. Secara logis pun, bangsa yang sudah mempunyai sistem kalender – terlebih yang rumit – pasti sudah menguasai aksara, bahasa, ilmu hitung, dan ilmu baca. Dalam konteks Kala Sunda, aksara yang digunakan atau dikuasai adalah Caraka atau Kagangan. Sebelum urang Sunda membuat tulisan, pasti sudah mengenal bahasa dan tata bahasa yang baku.
Secara umum Kalender Sunda terdiri atas tiga bagian , yaitu kalender sunda Suryakala atau Saka Sunda (penanggalan berbasis matahari), kalender sunda Chandrakala atau Caka Sunda (berbasis bulan), dan kalender sunda Sukrakala (berbasis kedudukan bintang). Seperti penanggalan masehi, sistem penanggalan Sunda juga berguna untuk perhitungan waktu.
Dengan memahami fenomena yang terjadi di langit, masyarakat tradisional Sunda pun menjadikan sistem penanggalan kalender Sunda untuk berbagai keperluan. Kalender Sunda sebagai inspirasi untuk menentukan hari baik pernikahan, waktu bercocok tanam, aktivitas keagamaan, hingga norma-norma yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya bermuara kepada keberlangsungan umat, berikut keselarasan manusia dengan lingkungan.
Kalender sunda Suryakala atau Saka Sunda itu biasanya dimanfaatkan untuk pertanian, bersamaan dengan kalender masehi. Sedangkan kalender sunda Chandrakala atau Caka SUnda untuk kehidupan keagamaan, bisa juga untuk pasang surut air laut. Kalau Sukrakala itu digabungkan dengan konsesi bintang-bintang yang kita lihat, bisa sebagai ilmu pengetahuan.
Pertama, kita perhatikan Kalender Surya Saka Sunda yaitu bagian dari kalender Sunda yang didasarkan posisi edar bumi mengelilingi matahari. Awal tahun Kalender Surya Saka Sunda ditetapkan sewaktu matahari meninggalkan posisi paling selatan. Jadi, pada saat matahari berada di posisi paling selatan yaitu di atas 23,5 derajat Lintang Selatan pada tanggal 22 Desember, diartikan sebagai tutup tahun Kala Surya Saka Sunda. Bumi beredar mengelilingi matahari dan berputar pada sumbunya. Sumbu putar bumi miring 23,5 derajat terhadap bidang edarnya, sehingga belahan bumi secara bergantian condong ke arah atau menjauhi matahari. Pada tanggal 21 Maret dan 23 September, matahari berada tepat di atas katulistiwa, pada saat tersebut siang dan malam sama panjang di mana-mana. Kemudian pada tanggal 21 Juni, matahari akan mencapai posisi paling utara yaitu di atas 23,5 derajat Lintang Utara. Perputaran dan peredaran bumi mengelilingi matahari ini menimbulkan musim yang berbeda di muka bumi ini.
Dalam satu tahun, Kalender Surya Saka Sunda terbagi menjadi 12 bulan, yaitu Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawalu, Kasanga, Kadasa, Desta atau Hapitlemah, Sada atau Hapitkayu. Dapat dipercaya bahwa bulan-bulan Kasa, Karo, Katiga adalah musim hujan, bulan-bulan Kapat, Kalima, Kanem adalah musim pancaroba menjelang kemarau, bulan-bulan Kapitu, Kawalu, Kasanga adalah musim kemarau, bulan-bulan Kadasa, Hapitlemah, Hapitkayu adalah musim pancaroba menjelang hujan.
Selanjutnya yang kedua, kita perhatikan Kalender Candra Caka Sunda yaitu bagian dari Kala Sunda yang didasarkan posisi bulan mengelilingi bumi. Dalam satu tahun, kala candra ini terbagi menjadi 12 bulan, yaitu: Kartika, Margasira, Posya, Maga, Palguna, Setra, Wesaka, Yesta, Asada, Srawana, Badra, dan Asuji. Kemudian masing-masing bulan dibagi menjadi dua, yaitu Suklapaksa (parocaang) dan Kresnapaksa (paropoek).
Ketentuan Kala Candra Caka Sunda adalah sebagai berikut: bulan separoh terang sempurna jatuh pada tanggal 1 Suklapaksa, bulan penuh tanggal 8 Suklapaksa, bulan separuh gelap tanggal 15 Suklapaksa. Bulan separuh gelap sempurna jatuh pada tanggal 1 Kresnapaksa, bulan gelap sempurna tanggal 8 Kresnapaksa, bulan separuh terang tanggal 14 atau 15 Kresnapaksa. Gravitasi bulan menarik permukaan laut tepat di bawahnya, menyebabkan terjadinya pasang surut laut. Pasang surut berubah sesuai fase-fase bulan, dan pasang tertinggi terjadi ketika bulan baru (bulan gelap sempurna, tanggal 8 Kresnapaksa) atau bulan purnama (bulan penuh, tanggal 8 Suklapaksa).
Wawancara Penemuan Kembali Kalender Sunda
Bererikut ini adalah petikan wawancara Pikiran Rakyat dengan Abah Ali –panggilan akrab Ali Sastramidjaja. Selain menemukan kembali Kalender Sunda, Abah Ali juga pencipta kecapi 3 surupan dan waditra 10 nada ini.
Bagaimana awalnya sehingga Abah tertarik untuk meneliti sistem penanggalan Sunda?
Ketertarikan itu muncul setelah saya menyaksikan adanya ketidakkonsistenan pada semua sistem penanggalan, baik Jawa maupun Hijriah. Salah satu kasus yang semakin mendorong semangat saya adalah sering terjadinya perbedaan awal puasa dan hari raya.
Sebenarnya Abah sudah punya “bekal” untuk penelitian?
Sebenarnya, pada tahun 1950-an, kakek saya bercerita banyak soal sistem penanggalan Sunda. Akan tetapi, dulu, perhatian banyak orang –termasuk saya– tidak tertuju ke sana karena dipandang tidak “menguntungkan”. Sebetulnya, saya sedikit menyesal karena dulu tak menyerap ilmu dari kakek. Satu hal yang sampai kini masih saya ingat adalah sistem penanggalan Sunda mengenal dua kala saka, yaitu Kala Saka Surya (sistem penanggalan yang berdasar kepada peredaran matahari) dan Kala Saka Candra (sistem penanggalan yang berdasar kepada peredaran bulan). Itu saja yang sebenarnya saya jadikan bekal.
Lantas?
Selanjutnya, saya kumpulkan berbagai data dan literatur yang berkaitan dengan sistem penanggalan untuk dijadikan referensi. Saya juga mempelajari sistem-sistem penanggalan lainnya, seperti Masehi, Hijriyah, Jawa, India, dan sebagainya. Selain itu, saya juga mengumpulkan dokumentasi yang dianggap “saksi sejarah” sistem penanggalan Sunda. Sayangnya, dari sejumlah dokumentasi yang saya pelajari, hanya 2 data sahih yang benar-benar menggunakan sistem penanggalan Sunda. Pertama, prasasti Citatah di Cibadak Sukabumi atau terkenal dengan Sanghyang Tapak dari abad ke-11 Masehi. Kedua, catatan dari kakek saya dari abad ke-20 Masehi di Sukabumi.
Persisnya, kapan Abah memulai penelitian?
Penelitian saya mulai sekira tahun 1983. Waktu itu, hasil penelitian belum sekompleks sekarang, masih terbatas kalender Sunda dengan sistem lunar (bulan) dan solar (matahari). Kendati begitu, pada tahun 1991, hasil penelitian itu dipatenkan. Selanjutnya, dari hasil penelitian itu saya menemukan kesimpulan bahwa sebenarnya kalender Sunda menggabungkan dua sistem tersebut atau biasa disebut dual-system. Satu keistimewaan lainnya, saya meyakini bahwa kalender sistem Sunda yang paling akurat dibandingkan sistem penanggalan lainnya. Apalagi, sistem ini belum pernah dikoreksi. Saya sudah melakukan studi komprehensif bahkan memperbandingkannya dengan penanggalan sistem Julian, Gregorius, dan Islam.
Apa yang Abah dapatkan setelah meneliti?
Saya menganggap bahwa selama ini telah terjadi subordinasi budaya Sunda dalam penentuan tarikh peristiwa sejarah yang terkait dengan manusia Sunda. Penerbitan Kala Sunda ini setidaknya bisa menjadi panggeuing Ki Sunda pada saat ini untuk kembali bangkit dan tidak lagi menjadi subordinat pelaku budaya lain. Hal pertama, kita gugat kesalahan penentuan tahun dalam sejarah Sunda selama ini.
Maksudnya?
Iya, tahun-tahun peristiwa sejarah Sunda telah dipersepsi secara salah. Intinya begini, tahun-tahun yang termuat dalam prasasti-prasasti maupun artefak-artefak selalu dipersepsi sebagai tahun Saka India karena merunut kepada pengaruh Hindu. Dengan demikian, untuk mengetahui tahun Masehinya, cukup ditambah 78 tahun saja. (1 Saka=78 Masehi).
Menurut Abah, bagaimana hal itu bisa terjadi?
Tentu saja, hal itu tak lepas dari pengaruh budaya Mataram Jawa. Padahal, sistem penanggalan Jawa Mataram disebut kala pranata mangsa yang tentu saja jauh berbeda dengan sistem Sunda. Kelahiran kalender sistem tersebut dilakukan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo sekira tahun 1633 Masehi. Dari bukti tertulis, sistem itu tidak diawali dengan tahun ke-1 tapi 1555. Kalau dihitung lagi, usianya tidak lebih dari 400 tahun.
Bisa Abah contohkan?
Contoh yang paling gampang adalah tanggal berdirinya Kota Bogor. Berdasarkan perkataan Prabu Terusbawa, Bogor berdiri pada Radite Pon, 09 Suklapaksa, bulan Yista (08), taun 591 Caka Sunda (= 31 Oktober 695 Masehi Julian). Padahal, HU Pikiran Rakyat memberitakan bahwa tanggal 3 Juni merupakan Hari Jadi Bogor ke-519. Menurut Saleh Danasasmita, berdirinya Kerajaan Padjadjaran pada 12 Suklapaksa, bulan Sitra (6), taun 1404 Caka Sunda (= 13 Maret – 11 April 1428 M Julian). Padahal, berdasarkan perhitungannya, tanggal itu bertepatan dengan 14 Juni 1484 Masehi Julian.
Jadi, sebelum Islam masuk ke nusantara, sebenarnya sistem penanggalan Sundalah yang digunakan, bukan Jawa apalagi India?
Tepat. Jadi begini, sebelum Islam masuk ke Jawa, catatan sejarah Indonesia yang memakai angka tahun pastilah menggunakan Caka Sunda. Soalnya, dahulu, sistem penanggalan Sunda merupakan satu-satunya sistem yang digunakan dalam mencatatkan peristiwa sejarah kita. Nah, oleh ahli sejarah, sistem penanggalan Sunda dianggap sama dengan sistem penanggalan India. Makanya, untuk mengetahui tahun Masehi, cukup ditambah 78 tahun. Di sinilah letak kesalahannya. Padahal, sistem penanggalan Sunda merupakan Kala Candra, bukan Surya. Buktinya, sistem ini mengenal istilah Suklapaksa (paro caang bulan) dan Kresnapaksa (paro poek bulan).
Bisa dijelaskan secara rinci, bagaimana sebenarnya sistem penanggalan Sunda?
Sistem penanggalan Sunda mengenal dua macam tahun, yakni Tahun Surya dan Tahun Candra. Masing-masing tahun juga mengenal tahun pendek (Surya 365 hari; Candra 354 hari) dan tahun panjang (Surya 366 hari; Candra 355 hari). Kala Surya Saka Sunda (Tahun Surya) mengenal aturan, “tiga tahun pendek, keempatnya tahun panjang. Akan tetapi, setiap tahun yang habis dibagi 128, dijadikan tahun pendek. Akhir tahun Surya adalah ketika matahari berada di titik paling selatan”.
Kala Candra Caka Sunda (Tahun Candra) punya aturan bahwa “dalam sewindu (8 tahun), tahun ke-2, ke-5, dan ke-8 adalah tahun panjang, sisanya tahun pendek. Setiap tahun ke-120 dijadikan tahun pendek. Setiap tahun yang habis dibagi 2.400 dijadikan tahun panjang”. Kala Candra (yang dipakai dalam sistem penanggalan Sunda) memiliki keistimewaan tersendiri, yakni “ciples”. Artinya, jika awal windu (biasa disebut indung poe) Senen Manis, maka akhirnya adalah Ahad Kaliwon. Keistimewaan lainnya, indung poe baru berganti setelah 120 tahun, mulai dari Senen Manis, Ahad Kaliwon, Saptu Wage, Jumaah Pon, Kemis Pahing, Rebo Manis, Salasa Kaliwon, hingga terakhir Rebo Pahing. Jika dihitung, “kejadian” itu berlangsung dalam waktu 84.000 tahun. Artinya, pada tahun ke-84.001, indung poe kembali kepada Senen Manis. Dalam perjalanan 84.000 tahun itu, sistem penanggalan Sunda juga mengenal “Dewa Taun”, yakni hari pertama dan terakhir setiap kurun waktu 2.400 tahun.
Lantas, bagaimana dengan ketepatannya?
Ternyata, ketepatan Kala Candra Caka Sunda dapat diuji secara ilmiah. Hitungannya begini, dalam sewindu (8 tahun), sistem penanggalan Sunda mengenal 5 tahun pendek dan 3 tahun panjang. Dengan demikian, hitungannya menjadi (5 x 354) + (3 x 355) sama dengan 2.835 hari per windu. Selanjutnya 120 tahun sama dengan 15 windu. Dengan demikian, [(2..835 x 15)-1] sama dengan 42524 hari per 120 tahun.
Perolehan angka tersebut dibandingkan dengan perhitungan secara ilmiah. Berdasarkan ilmu astronomi, perhitungan jumlah hari dalam 120 tahun adalah 12 x 29,53059 x 120 sama dengan 4.2524,0496. Artinya, terdapat selisih 0,0496 hari dalam 120 tahun atau 0,0004133 hari per tahun.
Jika dikalikan 2.420, angka selisih tersebut sama dengan 1. Itu berarti, dalam kurun waktu 2.420 tahun, terjadi selisih 1 hari. Untuk mempertahankan aturan yang baku, saya tidak menambah 1 hari setiap 2.420 tahun, tetapi 2.400. Jadi, hitungannya begini: Pada 2400 tahun pertama, 0,0004133 x 2.400 sama dengan 0,99192 hari per 2.400 tahun. Lantaran dibulatkan menjadi 1 hari, maka terdapat kelebihan 0,00808 hari per 2.400 tahun. Selanjutnya, pada 2.400 tahun kedua, (0,0004133 x 2.400) + 0,00808 sama dengan 1 hari per 2.400 tahun (kedua). Kesimpulannya, setiap 2.400 kedua, angka selisih itu menjadi “ciples” 1. Soalnya, dalam aturannya, sistem penanggalan Sunda menetapkan setiap tahun ke-2.400 sebagai tahun panjang. Artinya, selisih 1 hari antara perhitungan Sunda dan Astronomi tak lagi terjadi (lunas). Untuk 2.400 tahun seterusnya, sistem penghitungan kembali ke awal.
Lalu, apa yang harus dilakukan?
Ya, jadi sebenarnya buku-buku sejarah kita perlu diperbaiki. Soalnya, itu tadi, sudah terjadi kesalahan memindahkan tahun dari Caka Sunda menjadi Masehi. Kalau tidak diperbaiki, artinya kita tetap bertahan pada keadaan yang sebenarnya salah. Demikian juga bagi sebagian masyarakat kita yang suka “menghitung” menggunakan primbon. Jika tertera di sana “menggunakan Kala Sunda”, itu berarti yang digunakan Kala Mataram. Kalau “menggunakan Kala Jawa”, itu berarti yang digunakan adalah Kala Mataram yang sudah diubah.