Bedhaya Ketawang Tarian Langit Berusia Ribuan Tahun
Tarian Pusaka berdasarkan pada formasi Lintang Kartika atau Pleades.

Bedhaya Ketawang adalah sebuah tarian kuno yang telah berusia ribuan tahun. Bedhaya Ketawang berarti “Tarian Langit” atau “Tarian dari Langit” karena di dasarkan pada formasi bintang yang dinamakan Lintang Kartika atau Pleades.
Formasi Lintang Kartika atau Pleades
Daftar Isi
Dalam Astronomi modern, Lintang Kartika atau Pleiades adalah gugusan bintang terbuka (Open Star Cluster). Gugusan bintang meliputi ribuan bintang , namun karena jaraknya yang cukup jauh dengan Bumi, Pleiades terlihat dalam formasi tujuh bintang utama yang dikenal masyarakat jawa sebagai 7 bidadari.
Penamaan masing-masing 7 bintang ini dalam Astronomi mengadopsi dari mitologi Yunani, yaitu : Alcyone, Celaeno, Electra, Maia, Merope, Taygeta, dan Sterope. Kadang dikenal dengan formasi 9 bintang utama yaitu tujuh putri tersebut ditambahkan dua bintang lagi, yaitu Atlas dan Pleione (orang tua Pleiades dalam mitologi Yunani). Formasi Pleades sendiri menjadi bagian dari rasi rasi bintang Taurus.
Formasi Bedhaya Ketawang
Bedhaya Ketawang sendiri awalnya memiliki formasi 7 penari, kemudian berkembang menjadi 9 Penari. Penari Bedhaya Ketawang juga memiliki nama-nama khusus, sesuai dengan posisi dan peranannya selama berlangsungnya tarian persembahan ini, yaitu: 1. Batak, 2. Endhel Ajeg, 3. Endhel Weton, 4. Apit Ngarep, 5. Apit Mburi, 6. Apit Meneng, 7. Gulu, 8. Dhadha, 9. Boncit
Sejarah Asal Usul Bedhaya Ketawang
Terdapat 3 versi sejarah asal usul tarian langit Bedhaya Ketawang, yaitu : Pertama, tarian ini berasal dari tahun 167 Masehi. Kedua, tarian ini berasal dari era Panembahan Senopati; Ketiga, tarian ini diciptakan oleh Sultan Agung.
Pertama : Bedhaya Ketawang Sudah Dipentaskan Sejak Tahun 167 Masehi.
Tari Bedhaya Ketawang sudah dipentaskan dalam lingkungan kerajaan pada tahun 167. Semula disusunlah satu formasi, terdiri dari tujuh bidadari, untuk menarikan tarian yang disebut Lenggotbawa dan diiringi oleh gamelan berlaras pelog pathet lima, yaitu gendhing (kemanak), kala (kendhang), sangka (gong), pamucuk (kethuk), dan sauran (kenong).
Lenggotbawa, menurut GPH. Kusumadiningrat (KGPH. Hadiwijaya, 1974:17), diciptakan oleh Batara Wisnu, tatkala duduk di Balekambang Kahyangan Utarasegara. Tujuh buah permata kahyangan yang indah kemudian dipuja dan berubah wujud menjadi tujuh bidadari, yang kemudian menari mengitari Bathara Wisnu dari arah kanan.
Kedua : Bedhaya Ketawang Mulai Dipentaskan Sejak Panembahan Senopati
Menurut Sri Sunan Pakubuwana X (KGPH. Hadiwijaya, 1974:17), Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang diciptakan sebagai lambang cinta Kangjeng Ratu Kidul (Ratu Kencanasari) pada Panembahan Senapati, raja Kesultanan Mataram ke-1, ketika beliau bermunajat di Pantai Parangkusuma.
Segala gerakkannya melukiskan bujuk rayu, tetapi selalu dapat dielakkan oleh Panembahan Senapati.
Maka, Ratu Kidul lalu memohon agar Panembahan Senapati tidak pergi dan menetap di Samudra Kidul dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana.
Panembahan Senapati tidak menuruti kehendak Ratu Kidul, namun sebagai gantinya beliau berkenan memperistri Ratu Kidul secara turun-temurun. Sebaliknya, bahkan jika sewaktu-waktu Panembahan Senapati dan seluruh raja-raja Dinasti Mataram keturunannya menyelenggarakan pergelaran Tari Bedhaya Ketawang, Ratu Kidul diminta datang ke daratan untuk mengajarkan Tari Bedhaya Ketawang pada para abdidalem bedhaya (penari keraton).
Ketiga: Bedhaya Ketawang Diciptakan Oleh Sultan Agung
Menurut Sri Sekar Setyosih, S.Kar., M.Sn. (dosen Prodi Seni Tari Institut Seni Indonesia Surakarta, 2017), mengacu pada Kitab Wedhapradangga, Tari Bedhaya Ketawang dan Gendhing Ketawang sendiri diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja Kesultanan Mataram ke-4.
Ketika Sultan Agung Hanyakrakusuma sedang bersemadi, beliau mendengar sayup-sayup suara tiupan angin yang mengenai angkup (sejenis binatang yang berterbangan). Saat Sultan Agung Hanyakrakusuma menyermatinya, suara tersebut terdengar seperti suara kemanak Gamelan Lokananta (gamelan kahyangan). Seketika itu pula terdengar senandung gaib yang menyuarakan lagu indah yang agung dan berwibawa. Hal itu membuat Sultan Agung Hanyakrakusuma terpesona.
Pada pagi harinya, beliau memanggil para empu karawitan, yaitu Kangjeng Panembahan Purubaya, Kyai Pajang Mas (abdidalem dhalang) dan putranya, Pangeran Karanggayam II, serta Tumenggung Alap-Alap, untuk membuat gendhing yang mengacu pada kejadian yang dialami beliau sewaktu bersemadi.
Simbolisasi Dalam Bedhaya Ketawang
Tarian ini dipentaskan oleh 9 gadis/perawan saat penobatan raja, pada acara Tingalandalem Jumenengan Sunan Surakarta (upacara peringatan kenaikan tahta raja), atau acara khusus kerajaan lainnya. Formasi tarian mengikuti 9 bintang di Lintang Kartika atau Pleiades.
Tarian Bedhaya Ketawang Gede dipentaskan setiap 1 windu sekali. Namun, awal sejarahnya ternyata memang ditarikan oleh 7 penari, yaitu 6 gadis dan yang satu lagi tidak lain adalah Kanjeng Ratu Kencanasari, yang lebih populer dengan sebutan Kanjeng Ratu Kidul yang banyak diyakini sebagai Penguasa Laut Selatan yang konon secara gaib hadir (atau mungkin 7 penari dan salah satunya menjadi sosok tempat Kanjeng Ratu Kidul menitis).
Adanya kemudian menjadi 9 penari, adalah sebagai simbolisasi 9 arah mata angin yang dikuasai 9 dewa (Nawasanga). Namun, ada juga yang berkeyakinan bahwa Kanjeng Ratu menitis ke dalam 9 sosok penari menjadi simbolisasi Nawawatrika (9 dewi ibu alam semesta).
Penari ke 9 ada yang meyakini sebagai simbolisasi tawang atau langit (awalnya penari terakhir, yaitu yang ke 7 di mana merupakan Kanjeng Ratu sendiri atau minimal adalah titisannya). Biasanya dilaksanakan pada malam Anggara Kasih (Selasa Kliwon) di mana para penari memasuki sitihinggil dengan arah Pradaksina di seputar raja, dengan arah gerak ke kanan (searah jarum jam) dan akhirnya ke kiri (berlawanan arah jarum jam; identik dengan arah gerak rotasi dan revolusi Bumi). Sebagai simbolisasi cakrawala yang terbentang tiada batas (terkait 9 alam) dengan konfigurasi Nawagraha, (Lintang Kartika: dengan formasi 2 + 5 + 2).
Aslinya tarian sakral ini dilaksanakan selama 5,5 jam dengan irama sangat pelan dan hanya dapat disaksikan oleh orang yang terpilih saja (undangan khusus, terkait kesakralannya dengan segala prasyarat yang harus dilakukan). Yang umum kisaran 2,5 jam dan sejak Pakubuwana X, untuk yang bersifat biasa bahkan hanya berlangsung 90 menit.
Gendhing Pengiring Bedhaya Ketawang
Gendhing yang dipakai untuk mengiringi penampilan Tari Bedhaya Ketawang adalah Gendhing Ketawang atau juga disebut Gendhing Ketawang Gedhe. Gendhing ini bersifat sakral dan khusus; tidak dapat dijadikan gendhing klenengan (untuk hiburan), sebab bentuk asalnya merupakan tembang yang termasuk dalam tembang gerong. Gamelan yang mengiringi Tari Bedhaya Ketawang terdiri dari lima jenis, yaitu kethuk, kenong, kendhang, gong, dan kemanak. Suara kemanak-lah yang paling menonjol dalam Gendhing Ketawang.
Di tengah-tengah berlangsungnya Gendhing Ketawang, laras atau iramanya berpindah sejenak dari pelog ke slendro sampai dua kali, sebelum kemudian kembali ke laras pelog sampai akhir gendhing. Pada bagian pertama diiringi sindhenan (lagu) Durma, selanjutnya berganti ke sindhenan Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari keluar dan masuk lagi ke dalam Dalem Ageng Prabasuyasa, instrumen gamelan pengiringnya ditambah dengan rebab, gender, gambang, dan suling. Dan selama tarian berlangsung, tidak digunakan keprak seperti halnya Tari Srimpi.
Lirik Gendhing Ketawang, selain mengandung suasana asmara, juga berisi tentang perbintangan (astrologi). Hal tersebut dapat dilihat dari salah satu liriknya yang berbunyi, “…anglawat akeh rabine Susuhunan, nde. Anglawat kathah garwane Susuhunan, nde. Sesotya gelaring mega, Susuhunan kadi lintang kuwasane.” Yang kurang lebih berarti, “…dalam perlawatan, Susuhunan (Sunan) banyak menikah. Dalam perlawatan, Susuhunan banyak permaisurinya. Permata bertebaran di langit membentang. Susuhunan yang berkuasa, bagai bintang.”
Mengapa Bedhaya Ketawang Hanya di Pentaskan di Kraton Surakarta?
Ada hubungannya dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi Kesultanan Mataram menjadi dua wilayah, Kasunanan Surakarta (yang dipimpin Sri Sunan Pakubuwana III) dan Kesultanan Yogyakarta (yang dipimpin Sri Sultan Hamengkubuwana I).
Pembagian wilayah ini juga diikuti oleh pembagian warisan berupa pusaka. Tari Bedhaya Ketawang, sebagai salah satu pusaka non-benda Kesultanan Mataram, diwariskan kepada Kasunanan Surakarta sebagai penghormatan karena Kasunanan Surakarta merupakan monarki yang berkedudukan lebih tua dari Kesultanan Yogyakarta. Sebagai gantinya, Keraton Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat menciptakan Tari Bedhaya Semang.
Jauh sebelum pecahnya Kesultanan Mataram, Sri Sunan Pakubuwana I (yang ketika itu masih bergelar Pangeran Puger) pada tahun 1701 menciptakan Tari Bedhaya Sumreg yang mirip dengan Tari Bedhaya Ketawang (Clara Brakel-Papenhuiyzen, 1992:47).
Persiapan dan Syarat Penari Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang ditarikan oleh sembilan orang penari putri. Mereka dilatih secara khusus oleh para abdidalem putri, ialah mantan penari keraton yang diangkat oleh Sunan menjadi pelatih tari klasik. Syarat menjadi penari Tari Bedhaya Ketawang adalah harus seorang putri yang masih perawan, suci lahir dan batin, serta bukan merupakan putri Sunan; peraturan ini kemudian berubah pada masa pemerintahan Sri Sunan Pakubuwana XII (bertahta 1945-2004), sejak tahun 1980, putri-putri Sunan maupun penari dari luar keraton yang memiliki kemampuan mumpuni diperkenankan ikut berlatih dan menarikan Tari Bedhaya Ketawang, dengan syarat harus meminta izin kepada Kangjeng Ratu Kidul (secara batiniah).
Para penari Tari Bedhaya Ketawang diharuskan berlatih di Pendapa Sasana Sewaka, Keraton Surakarta, sebelum menampilkan Tari Bedhaya Ketawang di hadapan Sunan pada saat Tingalandalem Jumenengan. Pelatih Tari Bedhaya Ketawang membedakan sebutan untuk para penari sesuai dengan tahap latihan yang harus dilalui, yaitu:
1). Penari magang, berjumlah 36 orang yang berdomisili di Surakarta dan bukan merupakan kerabat keraton.
2). Penari anggara kasih, berjumlah 5 orang, yang terpilih dari 36 penari magang dan mendapat izin untuk menarikan Tari Bedhaya Ketawang pada saat latihan di hari Anggara Kasih atau Selasa Kliwon.
3). Abdidalem bedhaya, yaitu penari pada hari latihan Anggara Kasih yang terpilih menjadi penyaji Tari Bedhaya Ketawang.
Makna Tari Bedhaya Ketawang
Menurut KGPH. Panembahan Hadiwijaya Maharsitama (KGPH. Hadiwijaya, 1974: 12), Tari Bedhaya Ketawang mengandung sifat dan makna sebagai berikut:
Ritual
Tari Bedhaya Ketawang berkedudukan bukan hanya sebagai produk budaya untuk tontonan semata, karena kedudukannya sebagai sebuah tarian pusaka yang bahkan hanya ditampilkan pada waktu-waktu yang sangat khusus. Selama tarian berlangsung, tidak diperkenankan mengeluarkan hidangan dan merokok, seluruh suasana diharuskan untuk hening, dan semua tamu yang hadir tidak diperkenankan berbicara.
Sakral
Menurut kepercayaan keraton, Kangjeng Ratu Kidul turut hadir ketika Tari Bedhaya Ketawang ditampilkan. Tidak setiap orang dapat melihat kehadiran Ratu Kidul, hanya orang-orang yang peka secara mata batin yang dapat menangkap wujud kehadiran sang ratu. Konon pada saat para penari berlatih, Ratu Kidul ikut serta mengawasi dan bahkan membetulkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh si penari.
Spiritual
Dari sisi spiritual, Tari Bedhaya Ketawang diiringi Gendhing Ketawang yang salah satu baitnya berbunyi, “…tanu astra kadya agni urube, kantar-kantar kyai, yen mati ngendi surupe, kyai?” Akhir lirik tersebut kurang lebih berarti, “…kalau meninggal, kemana tujuannya, kyai?” Hal itu menjadi pengingat bahwa setiap manusia akan mengalami kematian, maka diharuskan bagi siapapun untuk berbuat baik dan berbakti kepada Tuhannya.
Terdapat penambahan pemaknaan bagi yang berpendapat asal-usul Bedhaya Ketawang sejak Jaman Panembahan Senopati. yaitu relasi asmara antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Tapi bagi yang berpendapat bahwa tarian ini sudah berasal dari ribuan tahun sebelumnya maka 3 pemaknaaan di atas sudah mencukupi.
Asmara
Tari Bedhaya Ketawang melambangkan curahan cinta asmara Kangjeng Ratu Kidul terhadap Panembahan Senapati. Semuanya tersirat dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh penari, cara penari memegang sondher, dan lain sebagainya. Segala jenis perlambang tersebut telah dibuat sedemikian halusnya, sehingga mata orang awam bahkan sukar memahaminya. Satu-satunya hal yang dapat dibaca oleh mata orang awam adalah busana seluruh penarinya yang merupakan busana pengantin dan semua penari dirias seperti lazimnya mempelai perempuan.
Sumber Rujukan Bedhaya Ketawang
- Brakel-Papenhuiyzen, Clara. 1992. The Bedhaya Court Dances of Central Java. Leiden: Brill Publishers.
- Hadiwidjaya, KGPH. 1974. Bedhaya Ketawang: Tarian Sakral di Candi-Candi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Taman Siswa.